Problematika Perempuan Keluar Rumah Tanpa Mahram

M. Badrul Anwar

1/8/20252 min read

Perjalanan adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan, dalam hal ini syari'at memperhatikan terutama bagi seorang wanita sebagai makhluk sosial. Melalui perjalanan, mereka menjalin interaksi, berbagi cerita, dan memenuhi kebutuhan, menjadikan setiap langkah sebagai bagian dari dinamika hidup yang penuh makna. Ini menggambarkan bagaimana perjalanan menjadi jembatan penting dalam kehidupan sosial dan juga emosional wanita.

Islam, sebagai agama yang menjunjung tinggi martabat perempuan, menetapkan aturan yang bertujuan menjaga kemuliaan mereka, termasuk terkait aktivitas di luar rumah. Mayoritas ulama dalam literatur fikih mensyaratkan perempuan melakukan perjalanan bersama mahram atau wanita lain untuk menjaga keamanan dan kenyamanan. Namun, dalam kenyataannya, ada situasi tertentu yang mengharuskan seorang wanita melakukan perjalanan sendiri tanpa pendamping mahram atau wanita lain.

Imam An-Nawawi Soal Wanita

Menanggapi persoalan tersebut, Imam An-Nawawi memberikan penjelasan mengenai legalitas perempuan beraktivitas di luar rumah dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Beliau menjelaskan bahwa Islam membolehkan perempuan keluar rumah dalam keadaan tertentu, selama memenuhi syarat-syarat yang tujuannya untuk menjaga kehormatan dan keamanan. Penjelasan ini menjadi panduan penting dalam memahami fleksibilitas hukum Islam dalam menghadapi situasi kehidupan sehari-hari.

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا يَجُوزُ بِغَيْرِ نِسَاءٍ وَلَا امْرَأَةٍ إذَا كَانَ الطَّرِيقُ آمِنًا وَبِهَذَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَدَاوُد

Sebagian Ashab (pengikut Imam As-Syafi’i) berkata: Diperbolehkan (perjalanan) tanpa didampingi para wanita lain bahkan satu wanita pun apabila aman dalam perjalanannya. Pendapat ini juga diungkapkan oleh Hasan al-bashri dan Dawud
(Ad-Dhohiri)
.”

Perempuan Menurut Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah

Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, juga terdapat penjelasan terkait legalitas perempuan beraktivitas di luar rumah. Islam memberikan kelonggaran dalam kondisi tertentu, seperti kebutuhan mendesak atau situasi darurat, selama tetap mematuhi aturan syariat yang bertujuan menjaga kehormatan, keamanan, dan kenyamanan perempuan. Penjelasan ini memperkuat pemahaman tentang bagaimana Islam memberikan perhatian khusus terhadap keseimbangan antara kebutuhan perempuan dan perlindungan padanya.

وَيَجُوزُ الاِخْتِلاَطُ إِذَا كَانَتْ هُنَاكَ حَاجَةٌ مَشْرُوعَةٌ مَعَمُرَاعَاةِ قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ وَلِذَلِكَ جَازَ خُرُوجُ الْمَرْأَةِ لِصَلاَةِ الْجَمَاعَةِ وَصَلاَةِ الْعِيدِ، وَأَجَازَ الْبَعْضُ خُرُوجَهَا لِفَرِيضَةِ الْحَجِّ مَعَ رُفْقَةٍ مَأْمُونَةٍ مِنَ الرِّجَال.

Diperbolehkan bercampur (antara pria dan wanita) apabila terdapat kebutuhan yang dilegalksan syariat dengan syarat tetap menjaga kaidah-kaidah (ketentuan hukum) syariat. Dengan demikian, perempuan boleh untuk keluar dalam rangka salat berjamaah dan salat hari raya. Dan sebagian ulama lain memperbolehkan wanita untuk keluar dalam rangka menunaikan haji bersama para pria yang dapat dipercaya (terjaga dari fitnah).”

Kesimpulan

Dengan demikian, aktivitas perempuan di luar rumah mendapatkan legalitas dari syariat dengan beberapa ketentuan, yakni pertimbangan keamanan serta menjaga etikaketika keluar rumah. Adapun yang dimaksud aman dalam konteks ini adalah tidak ada dugaan atau bisa menimbulkan fitnah serta mampu menjaga etika wanita ketika keluar rumah, seperti menundukkan pandangan, menutup aurat, tidak memakai wangi-wangian, juga tidak menampakkan perhiasan.

Waallahu a’lam